PENDIDIKAN
KARAKTER MELALUI PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI NORWEGIA
Tri
Hartanti, Faatihah Nur Khasanah, dan Rema Sefri Fathurozi
Program
Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas
Kegururan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Abstrak
Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan program pendidikan yang sangat penting
untuk upaya pembangunan karakter bangsa. Sebagai suatu program
pendidikan yang amat strategis bagi upaya pendidikan karakter, PKn
perlu memperkuat posisinya menjadi subjek pembelajaran yang kuat
(powerful learning area) yang secara kurikuler ditandai oleh
pengalaman belajar secara kontekstual. Terdapat empat bagian penting
dalam kurikulum meliputi: tujuan, isi/materi, strategi pembelajaran,
dan evaluasi. Dalam standar kompetensi kurikulum PKn, ditegaskan
bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai tujuan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara kritis, rasional, dan
kreatif. Tidak hanya di negara Indonesia tetapi juga di negara-negara
lain, salah satunya adalah negara Norwegia. Tujuan penelitian ini
adalah untuk membandingkan pendidikan karakter melalui PKn yang ada
di Indonesia dengan pendidikan karakter yang ada di negara Norwegia.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan
menggunakan pendekatan kualitatif, pengumpulan data menggunakan data
sekunder, teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik analisis diskriptif.
Kata
kunci
: Pendidikan karakter, PKn, kurikulum PKn, Pembelajaran PKn
Abstrac
Citizenship
Education is a very important educational program for the nation's
character building efforts. As a very strategic educational program
for character education efforts, Civics need to strengthen its
position into a powerful learning subject that is curricularly
characterized by a contextual learning experience. There are four
important parts of the curriculum: objectives, content / materials,
learning strategies, and evaluations. In the competence standard of
Civics curriculum, it is affirmed that the subjects of Civic
Education have the aim to develop critical, rational, and creative
thinking ability. Not only in Indonesia but also in other countries,
one of them is Norway. The purpose of this study was to compare
character education through Civics in Indonesia with character
education in Norwegian state. This research method using qualitative
research methods and using qualitative approach, data collection
using secondary data, analytical techniques used in this study using
descriptive analysis techniques.
Keywords:
Character education, Civics, Civics curriculum, Civics Learning
PENDAHULUAN
Pendidikan
berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya
membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Selain itu
pendidikan bagi semua negara merupakan satu hal yang penting dalam
membangun dan membentuk karakter peserta didik agar dapat
mempertahankan eksistensi suatu negara. Bagi negara Indonesia
pendidikan guna untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang
tersurat dalam alinea keempat Pembukaan, dan Pasal 31 Undang-Undang
dasar Negara Republik Indonesia, Selanjutnya secara instrumental
dijabarkan dalam Pasal 2, 3, 37 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Pendidikan
tidak lepas dari suatu yang disebut kurikulum, sebab kurikulum
memegang kedudukan kunci dalam pendidikan. Kurikulum berkaitan dengan
penentuan arah, isi, dan proses pendidikan yang pada akhirnya
menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan.
Kurikulum menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan baik dalam
lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional. Dalam
pendidikan yang saat ini dijalankan mengedepankan pendidikan karakter
untuk membentuk karakter pada peserta didik. Eksistensi suatu negara
tidak lepas dari dunia pendidikan, untuk mewujudkan pendidikan yang
berwawasan luas dan berkarakter perlu adanya pendidikan karakter
untuk mewujudkanya.
Pendidikan
Kewarganegaraan dalam perspektif internasional menjadi salah satu
kajian yang layak diperdalam mengingat PKn di suatu negara akan terus
berkembang seiring perkembangan dunia yang terjadi. Kemudian fenomena
yang terjadi pun sesungguhnya akan berbeda cara penangannannya karena
PKn yang berkembang di berbagai negara cenderung mengarah pada tujuan
nasional dari masing-masing negara tersebut. Tujuan dan nomenklatur
PKn yang berbeda-beda setiap negara, kemudian cara penanganan
terhadap suatu fenomena kewarganegaraan, PKn dalam perspektif
internasional nantinya akan bermuara pada konsep
global citizenship yang
tidak lain adalah salah satu benang merah kajian kewarganegaraan.
Sebab baik dalam artian formal maupun non formal, PKn atau Civic
Education akan
menjadi
dampak pengiring berupa kegiatan komprehensif di dalam dan di luar
sekolah, sehingga kajiannya akan kurang berkembang jika hanya berkaca
pada negara sendiri saja.
Pendidikan
karakter untuk menunjang eksistensi suatu negara dan mencerdaskan
suatu bangsa tidak lepas dari salah satu mata pelajaran yaitu
pendidikan kewarganegaraan.
Lebih
tegas lagi secara operasional dalam Penjelasan pasal 37 dinyatakan
bahwa: “...pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air”. Indonesia
dalam dunia pendidikan bisa dikatakan sudah bagus namun masih kalah
dengan negara negara lain seperti halnya negara Norwegia padahal
antara kedua negara ini masih sama sama negara berkembang namun
pendidikan di Norwegia dalam mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan bisa dikatakan lebih baik. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui perbedaan penerapan kurikulum yang berlaku di
Indonesia dengan yang ada di Norwegia khusunya dalam mata pelajaran
PKn yang berkaitan erat dengan pendidikan karakter. Pendidikan
karakter tersebut merupakan langkah awal untuk membentuk pendidikan
yang baik untuk menunjang eksistensi suatu negara.
Studi
tentang perbandingan civic
di
berbagai negara ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan PKn
khususnya terkait kurikulum PKn. Kemudian secara operasional
perbandingan civic
ini
menjadi satu pendekatan untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang
implementasi PKn di berbagai negara khususnya di Norwegia. Dengan
demikian tujuan dan implementasi PKn yang berbeda-beda di berbagai
negara dapat menjadi bagian dari refleksi untuk perbaikan PKn di
Indonesia.
KAJIAN
TEORI
Pendidikan
Karakter
Pendidikan
karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai
karakter pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan
karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut
dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warganegara
yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif (Pusat Kurikulum,
2010). Fungsi pendidikan karakter adalah: 1) pengembangan; 2)
perbaikan; dan 3) penyaring. Pengembangan, yakni pengembangan potensi
peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik, terutama bagi
peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang
mencerminkan karakter bangsa. Perbaikan, yakni memperkuat kiprah
pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan
potensi peserta didik yang lebih bermartabat. Penyaring, yaitu untuk
menseleksi budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai karakter yang bermartabat. Tujuan
pendidikan karakter adalah: 1) mengembangkan potensi
kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara
yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa; 2) mengembangkan kebiasaan
dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3)
menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai
generasi penerus bangsa; 4) mengembangkan kemampuan peserta didik
menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan 5)
mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar
yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan
rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan. Nilai-nilai yang
dikembangkan dalam pendidikan karakter bersumber dari: 1) Agama, 2)
Pancasila, 3) Budaya, dan 4) Tujuan Pendidikan Nasional (Pusat
Kurikulum, 2010).
PKn
(Pendidikan Kewarganegaraan)
Pendidikan
Kewarganegaraan Indonesia
Secara
epistemologis pendidikan kewarganegaraan perlu dipahami dalam konteks
konsep civic/citizenship
education dalam
wacana pendidikan kewarganegaraan demokratis sebagaimana pemikiran
tersebut berkembang di berbagai belahan dunia. Hal itu dapat kita
maknai, bahwa pendidikan (education=educare) merupakan
upaya manusia yang sadar-tujuan untuk menumbuh-kembangkan potensi
individu agar menjadi anggota masyarakat, putra bangsa, dan
warganegara yang dewasa. Oleh karena itu, pendidikan termasuk
pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana pedagogis dan
sosialkultural, yang diterima sebagai unsur peradaban kemanusiaan
yang memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Sebagai
pendidikan karakter yang bersifat multidimensional "citizenship
education"mengemban
visi dan missi utuh pengembangan "civic
competencies". Didalam
kemampuan tersebut terkandung sasaran pengembangan: "civic
knowledge, civic dispositions, civic skills, civic competence, civic
confidence, civic committment" yang
bermuara pada kemampuan integratif "wellinformed
and reasoned decision making".
Secara praksis kesemua dimensi kemampuan itu sangat diperlukan oleh
individu agar dapat berperan sebagai "participative
and responsible citizen" (CCE:
1996) atau warganegara Indonesia yang cerdas dan baik (Winataputra:
2001).
Pendidikan
Kewarganegaraan di Norwegia
PKn
di Norwegia tidak diajarkan sebagai disiplin ilmu yang terpisah,
namun sebagai bagian yang terintegrasi dalam materi pelajaran sekolah
terutama ilmu sosial. Sebagaimana
dikemukakan dalam sumber lain, bahwa
In
Norway citizenship education is the primary mandate of Social
Studies.
Social studies is the integrated study of the social sciences and
humanities to promote civic competence. Within the school program,
social studies provides coordinated, systematic study drawing upon
such disciplines
as anthropology, archaeology, economics, geography, history,
jurisprudence, philosophy, political science, psychology, religion,
and sociology, as well as appropriate content from the humanities,
mathematics, and natural sciences. (Norwegian
Study Work, 2011)
Mengenai
pemisahan citizenship
education dibahas
dalam citizenship
education in Europe. Beberapa
negara seperti Irlandia, Lithuania, Austria, Slovenia, Turki, dan
Norwegia mengajarkan civic
education pada
waktu-waktu tertentu (secara eksklusif) yakni pada level lower
secondary school. Norway has increased its number of hours and
concentrated them at lower secondary level only
(Education, Audiovisual and Culture Executive Agency, 2012: 24).
Asal
mula Civic
Education
di Norwegia hampir 200 tahun yang lalu. Sampai perang dunia ke II,
fokusnya berkisar pada materi konstitusional dan struktur formal dari
institusi pemerintahan. (Borhaug, 2010: 66). Pasca perang, CE
diperkuat untuk mencegah fasisme sebagai suatu kekuatan politik. Pada
saat itu CE masih menjadi bagian dari Sejarah. Social
studies termasuk
di dalamnya CE menjadi mata pelajaran yang diwajibkan pada upper
secondary school sejak
1964, di primary
school sejak
1959, dan pada lower
secondary school sejak
1969 (Eiland, dalam Borhaug: 67)
Kurikulum
PKn
Secara
holistik pendidikan kewarganegaraa bertujuan agar setiap warganegara
muda (young
citizens)
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam konteks nilai dan
moral Pancasila, nilai dan norma Undang-Undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, nilai dan komitmen Bhinneka tunggal Ika, dan
komitmen bernegarakesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu,
secara sadar dan terencana peserta didik sesuai dengan perkembangan
psikologis dan konteks kehidupannya secara sistemik difasilitasi
untuk belajar berkehidupan demokrasi secara utuh, yakni belajar
tentang demokrasi (learning
about democracy),
belajar dalam iklim dan melalui proses demokrasi (learning
through democracy),
dan belajar untuk membangun demokrasi (learning
for democracy).
Ruang
lingkup dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah
(SD, SMP,SMA, dan SMK) meliputi:
-
Pancasila, sebagai dasar negara, pandangan hidup, dan ideologi nasional Indonesia serta etika dalam pergaulan Internasional.
-
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
-
Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud komitmen keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa.
-
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai bentuk final Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia.
Dalam
paradigma Kurikulum 2013, yang saat ini memasuki tahap implemetasi
meluas, keempat ruang lingkup materi tersebut diorganisasikan secara
psikologis dan sosial kutural dengan menggunakan pendekatan logika
substantif dan spiral lingkungan semakin meluas mulai dari kelas I SD
sampai dengan kelas III SMA. Dengan menggunakan konsepsi adanya
integrator kompetensi yang menjadi jembatan atau tangga
mendukung/scafolder dalam mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL),
yakni Kompetensi Inti (KI), dikembangkan Kompetensi Dasar (KD) yang
tidak lain merupakan kompetensi bermuatan substansi mata
pelajaran/mata kuliah.
Pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan diri diri yang beragam dari seni agama, sosio-kultural,
bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD
1945. (Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2004:1). Pendidikan
Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai wahana untuk mengembangkan
dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya
bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk
perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai individu,
anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Landasan
PKn adalah Pancasila dan UUD 1945, yang berakar pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional Indonesia, tanggap pada tuntutan perubahan
zaman.
Pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan di Norwegia
Pedoman
Kuriulum Nasional tahun 1987 menempatkan tujuan pembelajaran secara
umum ke arah kemasyarakatan, tanggung jawab, pemahaman tentang
konflik namun bukan hanya tentang cara penyelesaiannya saja, tetapi
juga mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dan bertahan dengan
berbagai konflik yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Pada abad
ke 19-20, PKn secara berangsur-angsur berkembang dalam sistem
pendidikan Norwegia. Civic Education selain berfokus mempelajari
konstitusi dan lembaga-lembaga negara, PKn di Norwegia juga
menetapkan pembelajaran tentang
-
Pengabdian (Subordination)
-
Loyalitas (Loyality)
-
Kepatuhan/Ketaatan (Obedience)
-
Ketaatan yang dimaksud adalah pada raja dan pemerintahannya
-
-
Voting dalam pemilihan untuk seluruh warga negara Norwegia
The
teaching should be up to date and reflect the current political
situation. Isu
yang dimaksud harus berkaitan dengan Royal
Norwegian Ministry of Cruch Affairs and Education, yang
berisi isu kontroversial dan pertanyaan-pertanyaan normatif (Borhaug,
2010: 69).
Secara
khusus PKn dikedepankan untuk mengasah partisipasi aktif siswa
sehingga dapat berkontribusi aktif di masyarakat sekitar, baik secara
praktis dalam interaksi sosial, kegiatan sosial, maupun pekerjaan dan
kebiasaan yang berkaitan dengan budaya keseharian.
Kemudian
Civic
Education di
Norwegia sangat menekankan pada tujuan partisipasi aktif melalui
pendekatan sosiologis, diperkuat oleh Education, Audiovisual and
Culture Executive Agency
(2012:
24) sebagai berikut
In
Norway, the 2006 curriculum establishes that all subject teaching
should contribute to developing a set of skills
attitudes and values promoting social and cultural competences and
encouraging pupil participation, attitudes
and values promoting social and cultural competences and encouraging
pupil participation.
Disamping
itu, terdapat beberapa permasalahan yang teridentifikasi di Norwegia
terkait PKn sendiri, yaitu:
-
Definisi dari bidang PKn sendiri yang tidak pasti/samar-samar
-
Rendahnya kerjasama antara sekolah-sekolah dan institusi sosial-politik setempat
-
Ulasan yang masih minim oleh guru PKn kepada siswa
Pada
level pengajaran oleh guru, diajarkan tentang konstitusi dan
institusi politik. Pada bukunya juga memuat tentang politik
internasional dan isu-isu penting dunia (Lorentzen, dalam Borhaug,
2010: 68).
Uniqueness
(Keunikan PKn di Norwegia)
Norwegia
terkenal sebagai negara pertama yang memiliki institusi yang bergerak
di bidang mediasi untuk anak-anak. Hal ini berkaitan dengan human
rights education yang
disandingkan dengan citizenship
education sendiri.
Bahwasannya nilai-nilai hak asasi manusia membantu sekolah dalam
mengembangkan etos tentang hak dan tanggung jawab siswa secara
seimbang.
Institusi
mediasi yang dimaksud bernama Institute
an Ombudsman for Children yang
tidak lain merupakan bagian dari Kementrian yang mengurusi tentang
anak dan hubungan keluarga (Ministry
of Children and Family Affairs). Dalam
rangka mengembangkan citizenship
and human rights education, Ombudsman
menampilkan seri televisi edukatif yang menjelaskan dan mengevaluasi
persoalan-persoalan kunci, mereka juga menyediakan hotline
the Norwegian Red Cross and Save the Children agar
anak-anak dan remaja dapat terlibat aktif menanggapi isu-isu yang
ditampilkan.
The
National Centre for Educational Resources
memproduksi buku yang sangat berguna berjudul The
Guide, yang
ditulis untuk siswa agar menjadi pedoman dalam mengembangkan sikap
tanggung jawab terkait pembelajaran yang dilakukan, bagaimana membuat
rencana, melaksanakan dan mengevaluasinya secara bertanggung jawab,
berpartisipasi aktif di kelas, dan keterlibatan dalam organisasi
untuk siswa secondary
schools.
Analisis
terhadap 4 Variabel Utama Demokrasi
Pendidikan
demokrasi menjadi
core daripada
Pendidikan Kewarganegaraan, oleh karena itu karena kelekatannya, maka
tidak mungkin jika membahas mengenai Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic
Education)
tetapi tidak membahas pendidikan demokrasi. Dengan demikian akan
dibahas 4 variabel utama dari pendidikan demokrasi dikaitkan dengan
kondisi negara secara umum dan kondisi pendidikan di Norwegia sebagai
bagian yang terintegrasi dalam pembelajaran dan praktik Civic
Education yang
holistik.
METODE
PENELITIAN
Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
penelitian kualitatif yang kemudian dilanjutkan pendekatan
pengembangan. Pengumpulan data yang dilakukan untuk penelitian ini
dengan menggunakan pengumpulan data sekunder. Teknik analisis yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis diskriptif.
Penelitian
ini mengacu pada obyek telaah sedangkan pendekatan pengembangannya
mengacu pada Borg & Gall (1983: 772). Model penelitian
pengembangan ialah suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan
dan memvalidasi produk-produk pendidikan, seperti materi
pembelajaran, buku teks, metode pembelajaran, dan lain-lain yang
dilakukan dalam suatu siklus penelitian dan pengembangan.
HASIL
PENELITIAN
Pendidikan
Kewarganegaraan di Indonesia
Untuk
Indonesia tampaknya pendidikan kewarganegaraan bersifat "exclusive
and formal" dalam
dunia persekolahan dan pendidikan tinggi masih perlu dipertahankan,
namun harus mulai dikembangkan menjadi program pendidikan yang
mensintesiskan secara harmonis
pendekatan "content-related" dan "process-led" serta "value-based",
yang
berarti juga meminimumkan modus "didactic
transmission" dan
mengoptimalkan penerapan prinsip "participative and
interactive".
Harus
diakui bahwa PKn Indonesia yang kini bersifat "minimal" itu
seyogyanya dikembangkan menjadi PKn yang "moderate", sehingga
ia berubah dari paradigma"education
about democracy" menjadi "education
in democracy".
Perubahan paradigma tersebut tidak akan terjadi dengan sendirinya.
Karena itu diperlukan fasilitasi sistematik dan sistemik untuk
terwujudnya perubahan paradigmatik PKn dari
kategori "minimal" ke "moderate", banyak
hal yang diperlukan. Kurikulum PKn yang selama ini terkesan terlalu
berbasis substansi atau content-based,harus
dikembangnkan menjadi kurikulum yang berbasis karakter. Orintasi baru
diperlukan untuk menghasilkan "civic
intelligence, civic participation, and civic responsibility" dalam
konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia. Dengan demikian
akan tercipta iklim pembelajaran PKn yang mencerminkan sebagai kelas
global yang terbuka(open
global classroom).
Akses yang luas bagi para siswa, mahasiswa, dan pemuda terhadap
berbagai sumber informasi tercetak, terrekam, tersiar, dan
elektronik. Wawasan, sikap, dan kemampuan para guru, tutor, dosen
dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia yang
sehat.
Visi
Misi Pendidikan Kewaraganegaran di Indonesia yaitu, konsisten dan
koheren dengan esensi dan arah dari filosofi pendidikan nasional,
seperti dimandatkan secara konstitusional, maka secara filosofis
pendidikan kewarganegaraan juga dengan sendirinya memiliki
visi holistik-eklektis yang
memadukan secara serasi pandangan perenialisme,
esensialisme, progresifisme, dan sosiorekonstruksionismedalam
konteks keindonesiaan. (Dewantara:1930; Brameld:1965, Somantri: 1970;
Winataputra 2001; Kemendikbud: 2013). Secara sosiopolitik dan
kultural pendidikan kewarganegaraan memiliki visi pendidikan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa yakni menumbuhkembangkan kecerdasan
kewarganegaraan (civic
intelligence) merupakan
prasarat untuk pembangunan demokrasi dalam arti luas, yang
mempersyaratkan terwujudnya budaya kewarganegaraan atau civic
culture sebagai
salah satu dterminan tumbuh-kembangnya negara demokrasi.
Bertolak
dari visinya tersebut, maka pendidikan kewarganegaraan mengemban misi
multidimensional (Cogan: 1996, Winataputra: 2001) yakni: (1) misi
psikopedagogis, yakni pengembangan potensi peserta didik: (2) misi
psikososial penyiapan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan
dalam masyarakat negara bangsa, dan (3) misi sosiokultural untuk
menbangun budaya kewarganegaraan sebagai salah satu determinan
kehidupan yang Demokratis. Bagi dunia akademik, selain ketiga misi
tersebut dikembangkan misi penelitian dan pengembangan (research
and/or development) untuk
membangun pendidikan kewarganegaraan sebagai integrated knowledge
system (Hartonian: 1970) atau synthetic
discipline (Somantri:
1996) yang dikembangkan secara perseorangan dan/atau komunitas dan
melalui program magister dan doktor pendidikan kewarganegaraan.
Kurikulum
Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia telah mengalami beberapa
perubahan diawali pada tahun 1994 sampai sekarang ini, perubahan
kurikulum ini karena zaman yang semakin berkembang dari tahun ke
tahunnya, jadi kurikulum menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang
ada. Sesuai dengan perubahannya nama mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan juga berubah-ubah dan yang sekarang ini menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau disingkat PPKn. Ruang
lingkup kurikulum/substansi utama PPKn 2013 :
-
Pancasila, sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa;
-
UUD 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
-
Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam keberagaman yang kohesif dan utuh;
-
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara Indonesia.
Empat
pilar kebangsaan saat merupakan hal yang sangat penting untuk
disosialisasikan khususnya melalui mata pelajaran PPKn karena mata.
Mata pelajaran PPKn merupakan mata pelajaran yang bertujuan untuk
membekali warga negara memiliki 3 (tiga) kemampuan, yaitu, (1)
pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), (2) keterampilan
kewarganegaran (civic skill), dan (3) karakter kewarganegaraan (civic
disposition) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan kata lain,
setiap warga negara Indonesia diharapkan tahu, paham, dan mampu
melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. (Sumber :
Balitbang Puskurbuk Kemdibud, 2012)
Jika
dianalisis Kompetensi Dasar PPKn 2013 jenjang SD, SMP, dan SMA, maka
guru PPKn dituntut untuk mampu mengembangan pendekatan, strategi, dan
metode pembelajaran. Pendekatan pembelajaran digambarkan sebagai
kerangka umum tentang skenario yang digunakan guru untuk
membelajarkan siswa, dalam rangka mencapai suatu tujuan pembelajaran.
Model pendekatan pembelajaran terbadi menjadi dua. Pertama pendekatan
pembelajaran berpusat kepada guru (teacher centered), dan kedua
pendekatan pembelajaran berpusat kepada siswa (student centered).
Strategi
adalah cara-cara yang akan dipilih dan digunakan oleh guru untuk
menyampaikan materi pembelajaran, sehingga akan memudahkan peserta
didik mencapai tujuan pembelajaran. Dapat juga diartikan sebagai
suatu rencana untuk mencapai tujuan. Terdiri dari metode, teknik, dan
prosedur. Sedangkan metode adalah Cara yang digunakan guru dalam
menjalankan fungsinya dan merupakan alat untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Berdasarkan
kepada uraian tersebut di atas, maka guru PPKn dituntut untuk mampu
mengembangkan proses pembelajaran supaya lebih menarik, menyenangkan,
menantang, dan membentuk peserta didik untuk mampu berpikir kritis
dan konstruktif. Guru PPKn harus mampu menyajikan materi pembelajaran
secara kontekstual, mengaitkan materi pelajaran dengan kondisi nyata
di lapangan. Mengaitkan antara teori dengan praktek, antara harapan
dan kenyataan, mengidentifikasi masalah yang terjadi, dan mendorong
peserta didik untuk memunculkan alternatif pemecahan masalah.
Alternatif
metode yang cocok untuk mewujudkan hal tersebut di atas, guru PPKn
bisa menggunakan metode ceramah, diskusi, observasi, simulasi,
inquiry, bermain peran, studi kasus, kunjungan lapangan, penugasan,
proyek, debat, portofolio, atau metode lainnya yang dinilai relevan.
Apapun metode yang digunakan, yang penting bisa memberikan
pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan waga negara serta
internalisasi karakter kewarganegaraan kepada peserta didik.
Mata
pelajaran PPKn yang dikemas secara menarik akan membuat peserta didik
menyenanginya, merasa perlu, tidak menjadi beban, dan merasakan
manfaat setelah mempelajarinya. Selain akan mengubah image bahwa mata
pelajaran PPKn membosankan karena menurut penulis, penilaian bahwa
suatu mata pelajaran membosankan atau tidak, disamping dipengaruhi
oleh minat peserta didik, juga dipengaruhi oleh cara guru
menyampaikannya. Dengan kata lain, guru harus mampu menampilkan
pribadi yang menyenangkan di hadapan peserta didik.
Pendidikan
Kewarganegaraan
di Norwegia
PKn
di Norwegia tidak diajarkan sebagai disiplin ilmu yang terpisah,
namun sebagai bagian yang terintegrasi dalam materi pelajaran sekolah
terutama ilmu sosial. Social
studies sendiri
di Norwegia dibagi menjadi mata pelajaran Sejarah dan Geografi yang
dibelajarkan ketika siswa mencapai kelas enam. Tujuan utama social
studies di
Norwegia adalah “to
help young people develop the ability to make informed and reasoned
decisions for the public good as citizens of a culturally diverse,
democratic society in an interdependent world”. Mengembangkan
kemampuan mengolah informasi dan membuat keputusan dengan alasan yang
rasional, untuk mewujudkan ruang publik yang baik sebagai warga
negara dalam kerangka masyarakat demokratis.
Namun
dengan demikian, terdapat beberapa sekolah swasta yang memisahkan
Civic
Education dari
Social
studies pada
tahap lower
secondary school. Sebagaimana
diinformasikan oleh Education, Audiovisual and Culture Executive
Agency (2012: 18) bahwa
Furthermore,
in the United Kingdom (England), the non-statutory citizenship
programmes of study to be provided at primary and post-compulsory
upper secondary levels, may be implemented as separate subjects or
integrated into other subjects. Finally, optional stand-alone
subjects can also be found across primary and/or secondary education,
as in Romania, Slovenia and Norway.
Secara
khusus PKn dikedepankan untuk mengasah partisipasi aktif siswa
sehingga dapat berkontribusi aktif di masyarakat sekitar, baik secara
praktis dalam interaksi sosial, kegiatan sosial, maupun pekerjaan dan
kebiasaan yang berkaitan dengan budaya keseharian. Kemudian
Civic
Education di
Norwegia sangat menekankan pada tujuan partisipasi aktif melalui
pendekatan sosiologis, diperkuat oleh Education, Audiovisual and
Culture Executive Agency
(2012:
24) sebagai berikut
In
Norway, the 2006 curriculum establishes that all subject teaching
should contribute to developing a set of skills
attitudes and values promoting social and cultural competences and
encouraging pupil participation, attitudes
and values promoting social and cultural competences and encouraging
pupil participation.
Disamping
itu, terdapat beberapa permasalahan yang teridentifikasi di Norwegia
terkait PKn sendiri, yaitu ; 1) definisi dari bidang PKn sendiri yang
tidak pasti/samar-samar, 2) rendahnya kerjasama antara
sekolah-sekolah dan institusi sosial-politik setempat, 3) ulasan yang
masih minim oleh guru PKn kepada siswa. Pada level pengajaran oleh
guru, diajarkan tentang konstitusi dan institusi politik. Pada
bukunya juga memuat tentang politik internasional dan isu-isu penting
dunia (Lorentzen, dalam Borhaug, 2010: 68).
Norwegia
terkenal sebagai negara pertama yang memiliki institusi yang bergerak
di bidang mediasi untuk anak-anak. Hal ini berkaitan dengan human
rights education yang
disandingkan dengan citizenship
education sendiri.
Bahwasannya nilai-nilai hak asasi manusia membantu sekolah dalam
mengembangkan etos tentang hak dan tanggung jawab siswa secara
seimbang. Institusi mediasi yang dimaksud bernama Institute
an Ombudsman for Children yang
tidak lain merupakan bagian dari Kementrian yang mengurusi tentang
anak dan hubungan keluarga (Ministry
of Children and Family Affairs).
Dalam
rangka mengembangkan citizenship
and human rights education, Ombudsman
menampilkan seri televisi edukatif yang menjelaskan dan mengevaluasi
persoalan-persoalan kunci, mereka juga menyediakan hotline
the Norwegian Red Cross and Save the Children agar
anak-anak dan remaja dapat terlibat aktif menanggapi isu-isu yang
ditampilkan. The
National Centre for Educational Resources
memproduksi buku yang sangat berguna berjudul The
Guide, yang
ditulis untuk siswa agar menjadi pedoman dalam mengembangkan sikap
tanggung jawab terkait pembelajaran yang dilakukan, bagaimana membuat
rencana, melaksanakan dan mengevaluasinya secara bertanggung jawab,
berpartisipasi aktif di kelas, dan keterlibatan dalam organisasi
untuk siswa secondary
schools.
KESIMPULAN
Dari
beberapa hal yang telah dan dijabarkan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan karakter merupakan modal awal dalam
membentuk dan membangun pendidikan agar tetap menjaga eksistensi
suatu negara. Penjabaran diatas menerangkan tentang pendidikan di
Indonesia dan Norwegia. Indonesia mempunyai beberapa kurikulum yang
berganti dalam kurun waktu tertentu. Pendidikan Indonesia terpacu
pada buku dan bahan ajar. Kurikulum yang berlaku dapat dilihat dengan
jelas rincian dari mulai isi materi sampai evaluasi hasil belajar.
Salah satu mata pelajaran yang berkaitan erat dengan pendidikan
karakter adalah PKn.
Civic Education di
Norwegia memiliki keunikan dengan adanya wadah sharing
argumentasi
bagi para siswa di media televisi yang disediakan khusus oleh The
National Centre for Educational Research, yang
mana tema-tema di seri televisi edukatif ini disediakan khusus oleh
Ministry
of Children and Family Affairs. Disamping
itu perkembangan Civic
Education di
Norwegia cukup baik dikarenakan kultur masyarakatnya yang menunjung
tingggi nilai-nilai kesamarataan atau persamaan hak (egalitarian).
Dilihat
dari penjelasan diatas Indonesia memang sudah baik dalam hal
kurikulum yang diberlakukan khususnya dalam mata pelajaran PKn tetapi
tidak dapat dipungkiri Indonesia masih kalah dalam masalah
pendidikan dengan negara yang yang masih sama-sama berkembang yaitu
negara Norwegia. Mengenai pendidikan karakter yang diterapakan
Norwegia telah jauh lebih dulu memberlakukan pendidikan karakter
sejak dari pendidikan dasar. Sistem pendidikan di negara Norwegia
dapat dijadikan sebagai motivasi dan inovasi baru untuk mengembangkan
kurikulum di Indonesia agar pendidikan di Indonesia semakin baik
lagi dan tidak tertinggal dengan pendidikan di negara-negara lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Badan
Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan
Penyusunan Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Jakarta: BNSP
Branson,
M.S. 1998. The
Role of Civic Education.Calabasas:
CCE.
Bungin,
B. 2007. Penelitian
Kualitatif.
Jakarta:Prenada Media Group
Borhaug,
Kjetil. (2010). Norwegian Civic Education-Beyond Formalism? Journal
of Social Science Educatio. Vol.
No. 9(1): Hlm. 66-77.
Departeman
Pendidikan Nasional Republik Indonesia . 2003. Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Jakarta: Depdiknas
Education,
Audiovisual and Culture Executive Agency. (2012). Citizenship
Education in Europe. Brussels:
Eurydice
International
Project In
The International Journal of Social Education, 12,2
Kosasih,
Achmad Djahiri. (1988). StrategiPembelajaran
IPS/PKN.
Bandung: IKIP Bandung
Lexy,
Moleong. 2005. Metode
Penelitian Kualitatif.
Rosdakarya: Bandung.
Norwegian
Study Work. (2011). Citizenship
Education in Norway. [Online]
Available at: www.norwegia.or.id/studywork.html.
Norwegian
Ministry of Education and Research. (2007). Education
From Kindergarten to Adult Education. Oslo:
Ministry of Education and Research
Statistics
Norway. (2015). Population
and Population Changes. [Online]
Available: www.statisticsnorway.net.
(diakses pada 20 Februari 2016).
The
Britsih Council. (2000). Citizenship
and Human Rights Education. Brimingham:
Galloways.
Winataputra,
U., dan Budimansyah, D. (2012). Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Perspektif Internasional. Bandung:
Widya Aksara Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar