Sabtu, 31 Maret 2018

Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Di Indonesia Dengan Pendidikan Karakter Di Norwegia


PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI NORWEGIA
Tri Hartanti, Faatihah Nur Khasanah, dan Rema Sefri Fathurozi
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Kegururan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Abstrak
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan program pendidikan yang sangat penting untuk upaya pembangunan karakter bangsa. Sebagai suatu program pendidikan yang amat strategis bagi upaya pendidikan karakter, PKn perlu memperkuat posisinya menjadi subjek pembelajaran yang kuat (powerful learning area) yang secara kurikuler ditandai oleh pengalaman belajar secara kontekstual. Terdapat empat bagian penting dalam kurikulum meliputi: tujuan, isi/materi, strategi pembelajaran, dan evaluasi. Dalam standar kompetensi kurikulum PKn, ditegaskan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai tujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif. Tidak hanya di negara Indonesia tetapi juga di negara-negara lain, salah satunya adalah negara Norwegia. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pendidikan karakter melalui PKn yang ada di Indonesia dengan pendidikan karakter yang ada di negara Norwegia. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunakan pendekatan kualitatif, pengumpulan data menggunakan data sekunder, teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis diskriptif.
Kata kunci : Pendidikan karakter, PKn, kurikulum PKn, Pembelajaran PKn
Abstrac
Citizenship Education is a very important educational program for the nation's character building efforts. As a very strategic educational program for character education efforts, Civics need to strengthen its position into a powerful learning subject that is curricularly characterized by a contextual learning experience. There are four important parts of the curriculum: objectives, content / materials, learning strategies, and evaluations. In the competence standard of Civics curriculum, it is affirmed that the subjects of Civic Education have the aim to develop critical, rational, and creative thinking ability. Not only in Indonesia but also in other countries, one of them is Norway. The purpose of this study was to compare character education through Civics in Indonesia with character education in Norwegian state. This research method using qualitative research methods and using qualitative approach, data collection using secondary data, analytical techniques used in this study using descriptive analysis techniques.
Keywords: Character education, Civics, Civics curriculum, Civics Learning
PENDAHULUAN
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Selain itu pendidikan bagi semua negara merupakan satu hal yang penting dalam membangun dan membentuk karakter peserta didik agar dapat mempertahankan eksistensi suatu negara. Bagi negara Indonesia pendidikan guna untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tersurat dalam alinea keempat Pembukaan, dan Pasal 31 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia, Selanjutnya secara instrumental dijabarkan dalam Pasal 2, 3, 37 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Pendidikan tidak lepas dari suatu yang disebut kurikulum, sebab kurikulum memegang kedudukan kunci dalam pendidikan. Kurikulum berkaitan dengan penentuan arah, isi, dan proses pendidikan yang pada akhirnya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan. Kurikulum menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan baik dalam lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional. Dalam pendidikan yang saat ini dijalankan mengedepankan pendidikan karakter untuk membentuk karakter pada peserta didik. Eksistensi suatu negara tidak lepas dari dunia pendidikan, untuk mewujudkan pendidikan yang berwawasan luas dan berkarakter perlu adanya pendidikan karakter untuk mewujudkanya.
Pendidikan Kewarganegaraan dalam perspektif internasional menjadi salah satu kajian yang layak diperdalam mengingat PKn di suatu negara akan terus berkembang seiring perkembangan dunia yang terjadi. Kemudian fenomena yang terjadi pun sesungguhnya akan berbeda cara penangannannya karena PKn yang berkembang di berbagai negara cenderung mengarah pada tujuan nasional dari masing-masing negara tersebut. Tujuan dan nomenklatur PKn yang berbeda-beda setiap negara, kemudian cara penanganan terhadap suatu fenomena kewarganegaraan, PKn dalam perspektif internasional nantinya akan bermuara pada konsep global citizenship yang tidak lain adalah salah satu benang merah kajian kewarganegaraan. Sebab baik dalam artian formal maupun non formal, PKn atau Civic Education akan menjadi dampak pengiring berupa kegiatan komprehensif di dalam dan di luar sekolah, sehingga kajiannya akan kurang berkembang jika hanya berkaca pada negara sendiri saja.
Pendidikan karakter untuk menunjang eksistensi suatu negara dan mencerdaskan suatu bangsa tidak lepas dari salah satu mata pelajaran yaitu pendidikan kewarganegaraan. Lebih tegas lagi secara operasional dalam Penjelasan pasal 37 dinyatakan bahwa: “...pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Indonesia dalam dunia pendidikan bisa dikatakan sudah bagus namun masih kalah dengan negara negara lain seperti halnya negara Norwegia padahal antara kedua negara ini masih sama sama negara berkembang namun pendidikan di Norwegia dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan bisa dikatakan lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan penerapan kurikulum yang berlaku di Indonesia dengan yang ada di Norwegia khusunya dalam mata pelajaran PKn yang berkaitan erat dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter tersebut merupakan langkah awal untuk membentuk pendidikan yang baik untuk menunjang eksistensi suatu negara.
Studi tentang perbandingan civic di berbagai negara ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan PKn khususnya terkait kurikulum PKn. Kemudian secara operasional perbandingan civic ini menjadi satu pendekatan untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang implementasi PKn di berbagai negara khususnya di Norwegia. Dengan demikian tujuan dan implementasi PKn yang berbeda-beda di berbagai negara dapat menjadi bagian dari refleksi untuk perbaikan PKn di Indonesia.
KAJIAN TEORI
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif (Pusat Kurikulum, 2010). Fungsi pendidikan karakter adalah: 1) pengembangan; 2) perbaikan; dan 3) penyaring. Pengembangan, yakni pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik, terutama bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan karakter bangsa. Perbaikan, yakni memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat. Penyaring, yaitu untuk menseleksi budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang bermartabat. Tujuan pendidikan karakter adalah: 1) mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa; 2) mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; 4) mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan 5) mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bersumber dari: 1) Agama, 2) Pancasila, 3) Budaya, dan 4) Tujuan Pendidikan Nasional (Pusat Kurikulum, 2010).
PKn (Pendidikan Kewarganegaraan)
Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia
Secara epistemologis pendidikan kewarganegaraan perlu dipahami dalam konteks konsep civic/citizenship education dalam wacana pendidikan kewarganegaraan demokratis sebagaimana pemikiran tersebut berkembang di berbagai belahan dunia. Hal itu dapat kita maknai, bahwa pendidikan (education=educare) merupakan upaya manusia yang sadar-tujuan untuk menumbuh-kembangkan potensi individu agar menjadi anggota masyarakat, putra bangsa, dan warganegara yang dewasa. Oleh karena itu, pendidikan termasuk pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana pedagogis dan sosialkultural, yang diterima sebagai unsur peradaban kemanusiaan yang memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sebagai pendidikan karakter yang bersifat multidimensional "citizenship education"mengemban visi dan missi utuh pengembangan "civic competencies". Didalam kemampuan tersebut terkandung sasaran pengembangan: "civic knowledge, civic dispositions, civic skills, civic competence, civic confidence, civic committment" yang bermuara pada kemampuan integratif "wellinformed and reasoned decision making". Secara praksis kesemua dimensi kemampuan itu sangat diperlukan oleh individu agar dapat berperan sebagai "participative and responsible citizen" (CCE: 1996) atau warganegara Indonesia yang cerdas dan baik (Winataputra: 2001).
Pendidikan Kewarganegaraan di Norwegia
PKn di Norwegia tidak diajarkan sebagai disiplin ilmu yang terpisah, namun sebagai bagian yang terintegrasi dalam materi pelajaran sekolah terutama ilmu sosial. Sebagaimana dikemukakan dalam sumber lain, bahwa
In Norway citizenship education is the primary mandate of Social Studies. Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, jurisprudence, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. (Norwegian Study Work, 2011)
Mengenai pemisahan citizenship education dibahas dalam citizenship education in Europe. Beberapa negara seperti Irlandia, Lithuania, Austria, Slovenia, Turki, dan Norwegia mengajarkan civic education pada waktu-waktu tertentu (secara eksklusif) yakni pada level lower secondary school. Norway has increased its number of hours and concentrated them at lower secondary level only (Education, Audiovisual and Culture Executive Agency, 2012: 24).
Asal mula Civic Education di Norwegia hampir 200 tahun yang lalu. Sampai perang dunia ke II, fokusnya berkisar pada materi konstitusional dan struktur formal dari institusi pemerintahan. (Borhaug, 2010: 66). Pasca perang, CE diperkuat untuk mencegah fasisme sebagai suatu kekuatan politik. Pada saat itu CE masih menjadi bagian dari Sejarah. Social studies termasuk di dalamnya CE menjadi mata pelajaran yang diwajibkan pada upper secondary school sejak 1964, di primary school sejak 1959, dan pada lower secondary school sejak 1969 (Eiland, dalam Borhaug: 67)
Kurikulum PKn
Secara holistik pendidikan kewarganegaraa bertujuan agar setiap warganegara muda (young citizens) memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam konteks nilai dan moral Pancasila, nilai dan norma Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan komitmen Bhinneka tunggal Ika, dan komitmen bernegarakesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, secara sadar dan terencana peserta didik sesuai dengan perkembangan psikologis dan konteks kehidupannya secara sistemik difasilitasi untuk belajar berkehidupan demokrasi secara utuh, yakni belajar tentang demokrasi (learning about democracy), belajar dalam iklim dan melalui proses demokrasi (learning through democracy), dan belajar untuk membangun demokrasi (learning for democracy).
Ruang lingkup dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah (SD, SMP,SMA, dan SMK) meliputi:
  1. Pancasila, sebagai dasar negara, pandangan hidup, dan ideologi nasional Indonesia serta etika dalam pergaulan Internasional.
  2. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  3. Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud komitmen keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa.
  4. Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai bentuk final Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia.
Dalam paradigma Kurikulum 2013, yang saat ini memasuki tahap implemetasi meluas, keempat ruang lingkup materi tersebut diorganisasikan secara psikologis dan sosial kutural dengan menggunakan pendekatan logika substantif dan spiral lingkungan semakin meluas mulai dari kelas I SD sampai dengan kelas III SMA. Dengan menggunakan konsepsi adanya integrator kompetensi yang menjadi jembatan atau tangga mendukung/scafolder dalam mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yakni Kompetensi Inti (KI), dikembangkan Kompetensi Dasar (KD) yang tidak lain merupakan kompetensi bermuatan substansi mata pelajaran/mata kuliah.
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri diri yang beragam dari seni agama, sosio-kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. (Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2004:1). Pendidikan Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai individu, anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Landasan PKn adalah Pancasila dan UUD 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, tanggap pada tuntutan perubahan zaman.
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Norwegia
Pedoman Kuriulum Nasional tahun 1987 menempatkan tujuan pembelajaran secara umum ke arah kemasyarakatan, tanggung jawab, pemahaman tentang konflik namun bukan hanya tentang cara penyelesaiannya saja, tetapi juga mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dan bertahan dengan berbagai konflik yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Pada abad ke 19-20, PKn secara berangsur-angsur berkembang dalam sistem pendidikan Norwegia. Civic Education selain berfokus mempelajari konstitusi dan lembaga-lembaga negara, PKn di Norwegia juga menetapkan pembelajaran tentang
  1. Pengabdian (Subordination)
  2. Loyalitas (Loyality)
  3. Kepatuhan/Ketaatan (Obedience)
    1. Ketaatan yang dimaksud adalah pada raja dan pemerintahannya
  4. Voting dalam pemilihan untuk seluruh warga negara Norwegia
The teaching should be up to date and reflect the current political situation. Isu yang dimaksud harus berkaitan dengan Royal Norwegian Ministry of Cruch Affairs and Education, yang berisi isu kontroversial dan pertanyaan-pertanyaan normatif (Borhaug, 2010: 69).
Secara khusus PKn dikedepankan untuk mengasah partisipasi aktif siswa sehingga dapat berkontribusi aktif di masyarakat sekitar, baik secara praktis dalam interaksi sosial, kegiatan sosial, maupun pekerjaan dan kebiasaan yang berkaitan dengan budaya keseharian.
Kemudian Civic Education di Norwegia sangat menekankan pada tujuan partisipasi aktif melalui pendekatan sosiologis, diperkuat oleh Education, Audiovisual and Culture Executive Agency (2012: 24) sebagai berikut
In Norway, the 2006 curriculum establishes that all subject teaching should contribute to developing a set of skills attitudes and values promoting social and cultural competences and encouraging pupil participation, attitudes and values promoting social and cultural competences and encouraging pupil participation.
Disamping itu, terdapat beberapa permasalahan yang teridentifikasi di Norwegia terkait PKn sendiri, yaitu:
  1. Definisi dari bidang PKn sendiri yang tidak pasti/samar-samar
  2. Rendahnya kerjasama antara sekolah-sekolah dan institusi sosial-politik setempat
  3. Ulasan yang masih minim oleh guru PKn kepada siswa
Pada level pengajaran oleh guru, diajarkan tentang konstitusi dan institusi politik. Pada bukunya juga memuat tentang politik internasional dan isu-isu penting dunia (Lorentzen, dalam Borhaug, 2010: 68).
Uniqueness (Keunikan PKn di Norwegia)
Norwegia terkenal sebagai negara pertama yang memiliki institusi yang bergerak di bidang mediasi untuk anak-anak. Hal ini berkaitan dengan human rights education yang disandingkan dengan citizenship education sendiri. Bahwasannya nilai-nilai hak asasi manusia membantu sekolah dalam mengembangkan etos tentang hak dan tanggung jawab siswa secara seimbang.
Institusi mediasi yang dimaksud bernama Institute an Ombudsman for Children yang tidak lain merupakan bagian dari Kementrian yang mengurusi tentang anak dan hubungan keluarga (Ministry of Children and Family Affairs). Dalam rangka mengembangkan citizenship and human rights education, Ombudsman menampilkan seri televisi edukatif yang menjelaskan dan mengevaluasi persoalan-persoalan kunci, mereka juga menyediakan hotline the Norwegian Red Cross and Save the Children agar anak-anak dan remaja dapat terlibat aktif menanggapi isu-isu yang ditampilkan.
The National Centre for Educational Resources memproduksi buku yang sangat berguna berjudul The Guide, yang ditulis untuk siswa agar menjadi pedoman dalam mengembangkan sikap tanggung jawab terkait pembelajaran yang dilakukan, bagaimana membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasinya secara bertanggung jawab, berpartisipasi aktif di kelas, dan keterlibatan dalam organisasi untuk siswa secondary schools.

Analisis terhadap 4 Variabel Utama Demokrasi
Pendidikan demokrasi menjadi core daripada Pendidikan Kewarganegaraan, oleh karena itu karena kelekatannya, maka tidak mungkin jika membahas mengenai Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) tetapi tidak membahas pendidikan demokrasi. Dengan demikian akan dibahas 4 variabel utama dari pendidikan demokrasi dikaitkan dengan kondisi negara secara umum dan kondisi pendidikan di Norwegia sebagai bagian yang terintegrasi dalam pembelajaran dan praktik Civic Education yang holistik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang kemudian dilanjutkan pendekatan pengembangan. Pengumpulan data yang dilakukan untuk penelitian ini dengan menggunakan pengumpulan data sekunder. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis diskriptif.
Penelitian ini mengacu pada obyek telaah sedangkan pendekatan pengembangannya mengacu pada Borg & Gall (1983: 772). Model penelitian pengembangan ialah suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk pendidikan, seperti materi pembelajaran, buku teks, metode pembelajaran, dan lain-lain yang dilakukan dalam suatu siklus penelitian dan pengembangan.
HASIL PENELITIAN
Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Untuk Indonesia tampaknya pendidikan kewarganegaraan bersifat "exclusive and formal" dalam dunia persekolahan dan pendidikan tinggi masih perlu dipertahankan, namun harus mulai dikembangkan menjadi program pendidikan yang mensintesiskan secara harmonis pendekatan "content-related" dan "process-led" serta "value-based", yang berarti juga meminimumkan modus "didactic transmission" dan mengoptimalkan penerapan prinsip "participative and interactive".
Harus diakui bahwa PKn Indonesia yang kini bersifat "minimal" itu seyogyanya dikembangkan menjadi PKn yang "moderate", sehingga ia berubah dari paradigma"education about democracy" menjadi "education in democracy".  Perubahan paradigma tersebut tidak akan terjadi dengan sendirinya. Karena itu diperlukan fasilitasi sistematik dan sistemik untuk terwujudnya perubahan paradigmatik PKn dari kategori "minimal" ke "moderate", banyak hal yang diperlukan. Kurikulum PKn yang selama ini terkesan terlalu berbasis substansi atau content-based,harus dikembangnkan menjadi kurikulum yang berbasis karakter. Orintasi baru diperlukan untuk menghasilkan "civic intelligence, civic participation, and civic responsibility" dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia. Dengan demikian akan tercipta iklim pembelajaran PKn yang mencerminkan sebagai kelas global yang terbuka(open global classroom). Akses yang luas bagi para siswa, mahasiswa, dan pemuda terhadap berbagai sumber informasi tercetak, terrekam, tersiar, dan elektronik. Wawasan, sikap, dan kemampuan para guru, tutor, dosen dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia yang sehat.
Visi Misi Pendidikan Kewaraganegaran di Indonesia yaitu, konsisten dan koheren dengan esensi dan arah dari filosofi pendidikan nasional, seperti dimandatkan secara konstitusional, maka secara filosofis pendidikan kewarganegaraan juga dengan sendirinya memiliki visi holistik-eklektis yang memadukan secara serasi pandangan perenialisme, esensialisme, progresifisme, dan sosiorekonstruksionismedalam konteks keindonesiaan. (Dewantara:1930; Brameld:1965, Somantri: 1970; Winataputra 2001; Kemendikbud: 2013). Secara sosiopolitik dan kultural pendidikan kewarganegaraan memiliki visi pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yakni menumbuhkembangkan kecerdasan kewarganegaraan (civic intelligence) merupakan prasarat untuk pembangunan demokrasi dalam arti luas, yang mempersyaratkan terwujudnya budaya kewarganegaraan atau civic culture sebagai salah satu dterminan tumbuh-kembangnya negara demokrasi.
Bertolak dari visinya tersebut, maka pendidikan kewarganegaraan mengemban misi multidimensional (Cogan: 1996, Winataputra: 2001) yakni: (1) misi psikopedagogis, yakni pengembangan potensi peserta didik: (2) misi psikososial penyiapan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam masyarakat negara bangsa, dan (3) misi sosiokultural untuk menbangun budaya kewarganegaraan sebagai salah satu determinan kehidupan yang Demokratis. Bagi dunia akademik, selain ketiga misi tersebut dikembangkan misi penelitian dan pengembangan (research and/or development) untuk membangun pendidikan kewarganegaraan sebagai integrated knowledge system (Hartonian: 1970) atau synthetic discipline (Somantri: 1996) yang dikembangkan secara perseorangan dan/atau komunitas dan melalui program magister dan doktor pendidikan kewarganegaraan.
Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan diawali pada tahun 1994 sampai sekarang ini, perubahan kurikulum ini karena zaman yang semakin berkembang dari tahun ke tahunnya, jadi kurikulum menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. Sesuai dengan perubahannya nama mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan juga berubah-ubah dan yang sekarang ini menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau disingkat PPKn. Ruang lingkup kurikulum/substansi utama PPKn 2013 :
  1. Pancasila, sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa;
  2. UUD 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
  3. Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam keberagaman yang kohesif dan utuh;
  4. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara Indonesia.
Empat pilar kebangsaan saat merupakan hal yang sangat penting untuk disosialisasikan khususnya melalui mata pelajaran PPKn karena mata. Mata pelajaran PPKn merupakan mata pelajaran yang bertujuan untuk membekali warga negara memiliki 3 (tiga) kemampuan, yaitu, (1) pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), (2) keterampilan kewarganegaran (civic skill), dan (3) karakter kewarganegaraan (civic disposition) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan kata lain, setiap warga negara Indonesia diharapkan tahu, paham, dan mampu melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. (Sumber : Balitbang Puskurbuk Kemdibud, 2012)
Jika dianalisis Kompetensi Dasar PPKn 2013 jenjang SD, SMP, dan SMA, maka guru PPKn dituntut untuk mampu mengembangan pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran. Pendekatan pembelajaran digambarkan sebagai kerangka umum tentang skenario yang digunakan guru untuk membelajarkan siswa, dalam rangka mencapai suatu tujuan pembelajaran. Model pendekatan pembelajaran terbadi menjadi dua. Pertama pendekatan pembelajaran berpusat kepada guru (teacher centered), dan kedua pendekatan pembelajaran berpusat kepada siswa (student centered).
Strategi adalah cara-cara yang akan dipilih dan digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi pembelajaran, sehingga akan memudahkan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Dapat juga diartikan sebagai suatu rencana untuk mencapai tujuan. Terdiri dari metode, teknik, dan prosedur. Sedangkan metode adalah Cara yang digunakan guru dalam menjalankan fungsinya dan merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Berdasarkan kepada uraian tersebut di atas, maka guru PPKn dituntut untuk mampu mengembangkan proses pembelajaran supaya lebih menarik, menyenangkan, menantang, dan membentuk peserta didik untuk mampu berpikir kritis dan konstruktif. Guru PPKn harus mampu menyajikan materi pembelajaran secara kontekstual, mengaitkan materi pelajaran dengan kondisi nyata di lapangan. Mengaitkan antara teori dengan praktek, antara harapan dan kenyataan, mengidentifikasi masalah yang terjadi, dan mendorong peserta didik untuk memunculkan alternatif pemecahan masalah.
Alternatif metode yang cocok untuk mewujudkan hal tersebut di atas, guru PPKn bisa menggunakan metode ceramah, diskusi, observasi, simulasi, inquiry, bermain peran, studi kasus, kunjungan lapangan, penugasan, proyek, debat, portofolio, atau metode lainnya yang dinilai relevan. Apapun metode yang digunakan, yang penting bisa memberikan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan waga negara serta internalisasi karakter kewarganegaraan kepada peserta didik.
Mata pelajaran PPKn yang dikemas secara menarik akan membuat peserta didik menyenanginya, merasa perlu, tidak menjadi beban, dan merasakan manfaat setelah mempelajarinya. Selain akan mengubah image bahwa mata pelajaran PPKn membosankan karena menurut penulis, penilaian bahwa suatu mata pelajaran membosankan atau tidak, disamping dipengaruhi oleh minat peserta didik, juga dipengaruhi oleh cara guru menyampaikannya. Dengan kata lain, guru harus mampu menampilkan pribadi yang menyenangkan di hadapan peserta didik.
Pendidikan Kewarganegaraan di Norwegia
PKn di Norwegia tidak diajarkan sebagai disiplin ilmu yang terpisah, namun sebagai bagian yang terintegrasi dalam materi pelajaran sekolah terutama ilmu sosial. Social studies sendiri di Norwegia dibagi menjadi mata pelajaran Sejarah dan Geografi yang dibelajarkan ketika siswa mencapai kelas enam. Tujuan utama social studies di Norwegia adalah “to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world”. Mengembangkan kemampuan mengolah informasi dan membuat keputusan dengan alasan yang rasional, untuk mewujudkan ruang publik yang baik sebagai warga negara dalam kerangka masyarakat demokratis.
Namun dengan demikian, terdapat beberapa sekolah swasta yang memisahkan Civic Education dari Social studies pada tahap lower secondary school. Sebagaimana diinformasikan oleh Education, Audiovisual and Culture Executive Agency (2012: 18) bahwa
Furthermore, in the United Kingdom (England), the non-statutory citizenship programmes of study to be provided at primary and post-compulsory upper secondary levels, may be implemented as separate subjects or integrated into other subjects. Finally, optional stand-alone subjects can also be found across primary and/or secondary education, as in Romania, Slovenia and Norway.
Secara khusus PKn dikedepankan untuk mengasah partisipasi aktif siswa sehingga dapat berkontribusi aktif di masyarakat sekitar, baik secara praktis dalam interaksi sosial, kegiatan sosial, maupun pekerjaan dan kebiasaan yang berkaitan dengan budaya keseharian. Kemudian Civic Education di Norwegia sangat menekankan pada tujuan partisipasi aktif melalui pendekatan sosiologis, diperkuat oleh Education, Audiovisual and Culture Executive Agency (2012: 24) sebagai berikut
In Norway, the 2006 curriculum establishes that all subject teaching should contribute to developing a set of skills attitudes and values promoting social and cultural competences and encouraging pupil participation, attitudes and values promoting social and cultural competences and encouraging pupil participation.
Disamping itu, terdapat beberapa permasalahan yang teridentifikasi di Norwegia terkait PKn sendiri, yaitu ; 1) definisi dari bidang PKn sendiri yang tidak pasti/samar-samar, 2) rendahnya kerjasama antara sekolah-sekolah dan institusi sosial-politik setempat, 3) ulasan yang masih minim oleh guru PKn kepada siswa. Pada level pengajaran oleh guru, diajarkan tentang konstitusi dan institusi politik. Pada bukunya juga memuat tentang politik internasional dan isu-isu penting dunia (Lorentzen, dalam Borhaug, 2010: 68).
Norwegia terkenal sebagai negara pertama yang memiliki institusi yang bergerak di bidang mediasi untuk anak-anak. Hal ini berkaitan dengan human rights education yang disandingkan dengan citizenship education sendiri. Bahwasannya nilai-nilai hak asasi manusia membantu sekolah dalam mengembangkan etos tentang hak dan tanggung jawab siswa secara seimbang. Institusi mediasi yang dimaksud bernama Institute an Ombudsman for Children yang tidak lain merupakan bagian dari Kementrian yang mengurusi tentang anak dan hubungan keluarga (Ministry of Children and Family Affairs).
Dalam rangka mengembangkan citizenship and human rights education, Ombudsman menampilkan seri televisi edukatif yang menjelaskan dan mengevaluasi persoalan-persoalan kunci, mereka juga menyediakan hotline the Norwegian Red Cross and Save the Children agar anak-anak dan remaja dapat terlibat aktif menanggapi isu-isu yang ditampilkan. The National Centre for Educational Resources memproduksi buku yang sangat berguna berjudul The Guide, yang ditulis untuk siswa agar menjadi pedoman dalam mengembangkan sikap tanggung jawab terkait pembelajaran yang dilakukan, bagaimana membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasinya secara bertanggung jawab, berpartisipasi aktif di kelas, dan keterlibatan dalam organisasi untuk siswa secondary schools.
KESIMPULAN
Dari beberapa hal yang telah dan dijabarkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter merupakan modal awal dalam membentuk dan membangun pendidikan agar tetap menjaga eksistensi suatu negara. Penjabaran diatas menerangkan tentang pendidikan di Indonesia dan Norwegia. Indonesia mempunyai beberapa kurikulum yang berganti dalam kurun waktu tertentu. Pendidikan Indonesia terpacu pada buku dan bahan ajar. Kurikulum yang berlaku dapat dilihat dengan jelas rincian dari mulai isi materi sampai evaluasi hasil belajar. Salah satu mata pelajaran yang berkaitan erat dengan pendidikan karakter adalah PKn. Civic Education di Norwegia memiliki keunikan dengan adanya wadah sharing argumentasi bagi para siswa di media televisi yang disediakan khusus oleh The National Centre for Educational Research, yang mana tema-tema di seri televisi edukatif ini disediakan khusus oleh Ministry of Children and Family Affairs. Disamping itu perkembangan Civic Education di Norwegia cukup baik dikarenakan kultur masyarakatnya yang menunjung tingggi nilai-nilai kesamarataan atau persamaan hak (egalitarian).
Dilihat dari penjelasan diatas Indonesia memang sudah baik dalam hal kurikulum yang diberlakukan khususnya dalam mata pelajaran PKn tetapi tidak dapat dipungkiri Indonesia masih kalah dalam masalah pendidikan dengan negara yang yang masih sama-sama berkembang yaitu negara Norwegia. Mengenai pendidikan karakter yang diterapakan Norwegia telah jauh lebih dulu memberlakukan pendidikan karakter sejak dari pendidikan dasar. Sistem pendidikan di negara Norwegia dapat dijadikan sebagai motivasi dan inovasi baru untuk mengembangkan kurikulum di Indonesia agar pendidikan di Indonesia semakin baik lagi dan tidak tertinggal dengan pendidikan di negara-negara lain.






DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BNSP
Branson, M.S. 1998. The Role of Civic Education.Calabasas: CCE.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta:Prenada Media Group
Borhaug, Kjetil. (2010). Norwegian Civic Education-Beyond Formalism? Journal of Social Science Educatio. Vol. No. 9(1): Hlm. 66-77.
Departeman Pendidikan Nasional Republik Indonesia . 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas
Education, Audiovisual and Culture Executive Agency. (2012). Citizenship Education in Europe. Brussels: Eurydice
International Project In The International Journal of Social Education, 12,2
Kosasih, Achmad Djahiri. (1988). StrategiPembelajaran IPS/PKN. Bandung: IKIP Bandung
Lexy, Moleong. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Rosdakarya: Bandung.
Norwegian Study Work. (2011). Citizenship Education in Norway. [Online] Available at: www.norwegia.or.id/studywork.html.
Norwegian Ministry of Education and Research. (2007). Education From Kindergarten to Adult Education. Oslo: Ministry of Education and Research
Statistics Norway. (2015). Population and Population Changes. [Online] Available: www.statisticsnorway.net. (diakses pada 20 Februari 2016).
The Britsih Council. (2000). Citizenship and Human Rights Education. Brimingham: Galloways.
Winataputra, U., dan Budimansyah, D. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Internasional. Bandung: Widya Aksara Press.